Minggu, 25 Agustus 2013

titik perhentian

aku lelah.
maka mengertilah.
aku bosan.
maka asingkan.

itu diri dan hati bebas kamu penjara.
ia berputar dalam kesesakannya sendiri.
jiwa mana yang tak mati karenanya?
lepaslah, ia hanya ingin berhenti.

lihat peluh,
dengar keluh,
tak perlu diseduh,
aduh berganti jadi acuh.
  

Jumat, 23 Agustus 2013

aku, rinduku, pantai, dan angkasatu



Kemarin lusa aku kembali mendapat kesempatan untuk menengok satu bagian terindah yang bumi miliki: pantai. Aku suka pantai. Debur ombak yang menerjang karang, butir-butir pasir putihnya, aroma asin airnya, angin yang tiada lelah berhembus, awan putih bersih yang terus beriringan, langit jernih luas yang terhampar, serta bulat matahari jingganya. Dan tentu saja aku suka (mengunjungi atau berada di) pantai dengan si angkasatu. Kunjunganku kemarin sebenarnya merupakan ajakan si angkasatu. Entah ada angin apa, ia mengajakku ke utara sana.

Ini bukan kali pertama aku dan si angkasatu berada di ujung pulau. Namun bagiku, hal ini selalu menjadi kali pertama aku mengenal sosok si angkasatu lebih dekat lagi, melalui pantai. Hal terbaru yang aku tangkap dari si angkasatu adalah bahwa ia ternyata tidak suka angin pantai, bikin masuk angin, katanya. Lucu memang si angkasatu ini.

Sebenarnya di sana pun tidak banyak komunikasi yang aku dan si angkasatu lakukan. Aku sibuk menikmati hamparan air dan awan yang berhias matahari bulat jingga di hadapanku, sementara si angkasatu sibuk dengan catur digitalnya. Aku tahu angkasatu mulai bosan. Namun apa boleh buat, aku masih mau melepas rinduku dengan potongan alam ini. Maafkan keegoisanku ya, angkasatu. Mengorbankanmu hanya agar sebagian kecil rinduku akan alam ini terobati.

Angkasatu mulai mengeluh kedinginan. Sudah terlalu sore. Hampir magrib kala itu. Sejenak aku perhatikan raut wajahnya. Ia mulai cemberut. Bibirnya agak sedikit manyun. Dan ia agak sedikit memucat. Rambutnya yang terombang-ambing oleh angin kembali ia rapikan. Aku tahu ia sudah tak tahan lagi. Aku bangkit dari tempat dudukku, membalik arah tubuhku, dan mengajaknya untuk kembali.

Ia sempat melontarkan sebuah kalimat, buah dari ajakanku untuk kembali, “orang udah masuk angin dari tadi..”, dan ia berhasil membuatku tersenyum getir, ketika beranjak meninggalkan kerinduanku. Sekali lagi, maafkan aku, angkasatu. Aku terlalu rindu justru pada angin-angin ini, angin-angin yang ternyata melukaimu. tapi tak apa, rinduku pada pantai sudah cukup terobati. Rinduku pada pantai dengan si angkasatu, terpenuhi. Tinggal rinduku pada si angkasatu saja yang harus tunai hari itu. 

Tidak. Aku salah. Rinduku pada si angkasatu ternyata tak bisa dimusnahkan hari itu juga. tak akan pernah bisa diobati. Rinduku pada si angkasatu ternyata terlalu bebal untuk ditaklukkan.

Satu hela napas tercipta ketika aku melontarkan harapku ini dalam hati: semoga si angkasatu tidak lelah menghadapi rindu semata wayangku yang liar ini.

Ayo, ke pantai lagi, angkasatu!







*note: kenapa nama tokohnya 'angkasatu' yak? hmm...

Selasa, 20 Agustus 2013

layang-layang

percaya atau tidak, aku ini seperti sebuah layang-layang. kamu tahu layang-layang kan? itu lho, mainan yang terbuat dari kertas yang direnggangkan dengan bilah-bilah bambu dan diikat dengan benang, dimainkan dengan bantuan angin.
aku suka menjadi layang-layang, entah mengapa.
bagiku, tawa anak-anak kecil yang menarik-ulur benang layang-layang itu seperti candu, yang selalu aku rindukan. deru-deru angin yang membawaku terbang, naik dan semakin naik itu seperti nyawa bagiku. aku tak akan bisa dimainkan bila tak ada angin, bukan? terakhir, tarik-ulur yang anak-anak itu lakukan saat mempermainkanku, seperti... seperti semacam... kehidupan. satu saat aku ditarik mendekat, untuk kemudian diulur sejauh-jauhnya.
aku seperti layang-layang, sekali lagi. dan bagiku, kamu lah seorang anak kecil yang selalu bersemangat membawaku ke tanah lapang, untuk menerbangkanku, bermain denganku. aku senang saat kau ajak bermain. aku bahagia mendengar tawamu ketika kau berhasil menerbangkanku, seorang diri. dihembus angin, aku melayang, tenang, karena benang yang menghubungkan tanganmu dan diriku tetap terhubung erat, tidak terpisahkan. satu kali kau menarikku mendekat... sesaat kemudian kau mengulur benang-benang itu sejauh dan setinggi-tingginya. namun aku tak pernah takut untuk terlepas, karena benang-benang itu tetap menjagaku aman, tak lepas dari jemarimu. kulihat kamu berlari... berlari.. terus berlari menerjang angin, membawaku terus ke ujung lapangan. jangan takut! karena bagaimanapun kau bawa aku berlari, aku akan selalu mengikutimu, dan tetap lekat dengan benang-benang itu.
sampai suatu ketika, kau terima tawaran temanmu untuk saling mengadu aku, layang-layangmu. kau tarik-ulur aku, beradu benang-benang ini dengan benang lawanmu. terus bergesekan benang-benang ini. perih rasanya. aku tak mau berpisah dengan jerat tanganmu. aku akan bertahan. aku janji akan terus bertahan! sampai akhirnya, benang layangan temanmu putus dan layang-layangnya terbang entah kemana. terseret angin, mungkin tersangkut di atas pohon.
kamu gembira menyaksikan hal itu. merasa puas atas pertahanan benang-benangmu, kau mencobai aku lagi. terus, dan terus kau siksa aku. kau tak pernah tahu seberapa besar usahaku hanya untuk terus terbang di atas kepalamu saja, bukan diatas kepala anak-anak itu. bukan hanya sekali atau dua kali kau terus melukaiku, mengadu benang-benang yang menyatukan aku dan tangan-tanganmu.
hingga pada akhirnya, aku lelah. aku sudah tak sanggup untuk terus beradu dengan layang-layang lain. aku menyerah. kau memaksaku untuk memutuskan benang-benang ini dan terbang menjauhi kepalamu.
egois atau semata-mata hanya untuk menyelamatkan diriku sendiri, aku memilih untuk pergi menjauh dari tangan-tanganmu.
aku menyerah, kau kalah.
terbawa angin, aku semakin menjauh darimu. sedih rasanya. kau tahu, aku masih ingin kau tarik-ulur kesana-kemari. aku masih ingin bahagia mendengar tawamu. aku masih ingin terus terikat pada benang-benang yang mendekatkan aku dengan nadi-nadimu...
ini keputusanku. erat dengan lara, aku tersiksa.
aku masih sempat melihat kerut-kerut kecut di bawah bibirmu, kekecewaanmu. maaf, aku pun tak pernah tega untuk meninggalkanmu.
namun sesaat kemudian aku tersadar, berbondong-bondong bocah kecil dibawah sana berlari mengejarku, memperebutkanku, mengikuti kemanapun angin membawaku pergi.
sampai akhirnya, satu dari mereka, yang paling kecil raganya, berhasil menaklukanku dengan jemarinya yang mungil. ia sempat terjatuh dan terinjak, namun ia tak berhenti untuk terus mengejarku, melawan bocah-bocah yang lebih besar tubuhnya, untuk dapat meraihku. satu yang tak terlupa, dapat kulihat senyum kemenangan muncul dari bibir tipisnya saat jemari itu menangkap sisa potongan benangku, yang kini dekat dengan pembuluh darahnya.
kini aku kembali terbang, di atas kepala bocah riang yang berhasil menaklukanku itu, yang sesekali pernah berbisik "aku gak mau ngadu layang-layangku lagi. ini layang-layang kesayanganku." sembari ia melangkahkan kaki kecilnya menuju tanah lapang untuk kembali membawaku bercengkrama dengan angin, dan menikmati gelak tawanya.





"nggak papa gue jadi layangan, tarik-ulur itu sama aja kayak dinamika hidup. tapi satu hal ya, kalo dia sampe ngadu gue sama layangan lain, ya gue lebih memilih buat mutusin diri aja lah. pergi dari dia. toh gue tau, setelah gue memutuskan diri, akan ada banyak anak kecil lain yang memperebutkan gue, buat ditarik-ulur lagi, buat dimainin lagi, dan satu lagi, yang nggak akan pernah mau ngadu gue lagi sama layangan lain, tapi mainin gue, buat kesenengannya sendiri."
-seseorang